KELAPA AKAN TETAP MEMBUAHKAN KELAPA TETAPI KEPALA BOLEH JADI MEMBUAHKAN KELAPA, masukkan komentar Anda mengenai blog ini. T e r i m a K a s i h atas partisipasinya Salam dunia maya isn't lhu'ena maya.

Membangun Kembali Paradigma Pendidikan Islam Sebagai Jawaban Terhadap Tantangan Global

Diposting dari Imam Suprayogo pada 18 November 2010 jam 7:11
Kaum muslimin di mana saja percaya, bahwa dengan pendidikan Islam maka ummat Islam akan semakin maju, mampu bersaing dengan umat lainnya. Akan tetapi pada kenyataannya anggapan itu belum seluruhnya terbukti. Negara-negara yang melaksanakan pendidikan yang berbasis Islam ternyata masih kalah unggul dibanding dengan pendidikan yang tidak membawa nama Islam.
Selama ini temuan-temuan yang dihasilkan sebagai dasar kemajuan sebuah bangsa justru terjadi di negara-negara non muslim. Kita dapat melihat dengan jelas bahwa kemajuan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi ditemukan oleh para ilmuwan non muslim. Belum lagi, teknologi persenjataan yang memiliki daya hancur luar biasa, adalah hasil penelitian para ahli yang berasal dari negara-negara yang bukan mayoritas beragama Islam.

Justru negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim masih menderita kemiskinan, dan keterbelakangan bahkan kebodohan. Umat Islam, sekalipun menyebut dirinya sebagai produk pendidikan Islam, sebagian banyak keadaannya belum mampu bersaing di pentas pergumulan kehidupan yang luas. Islam disebut sebagai ajaran yang unggul, luas, dan komprehensive, akan tetapi pada kenyataannya belum berhasil terbukti dalam kehidupan nyata.

Pertanyaan penting dan mendasar yang perlu dikemukakan adalah, apakah selama ini terdapat sesuatu yang salah dari pendidikan Islam. Kesalahan itu bisa jadi, berasal dari pemahaman terhadap ajaran Islam sendiri yang terbatas, sehingga tidak mampu menjawab tantangan zaman, atau kesalahan umatnya yang tidak serius, atau bahkan kesalahan implementatif oleh lembaga pendidikan Islam sendiri.

Pemaknaan Pendidikan Islam

Selama ini di mana-mana umat Islam menyebut pendidikan Islam hanya sebatas lembaga yang mengembangkan ilmu Ushuluddin, Syari’ah, Adab, Tarbiyah, Dakwah dan Adab. Kelima bidang ilmu itu dipandang sebagai rumpun pengetahuan Islam. Selain itu, disebut sebagai pelajaran tentang Islam bilamana terkait dengan ilmu tafsir, hadits, tauhid, fiqh, akhlak dan tasawwuf, dan Bahasa Arab. Sedangkan bidang ilmu lainnya, seperti sains dan teknologi, psikologi, ekonomi, politik, dan lain-lain masih dianggap bukan berada pada wilayah Islam.

Beberapa bidang ilmu yang disebut sebagai bagian dari kajian Islam sebenarnya,------- jika direnungkan secara saksama, hanya memberikan bekal pada peserta didik tentang aspek yang bersifat ritual dan setinggi-tingginya adalah pengetahuan hukum atau fiqh. Paradigma seperti ini, menjadikan seolah-olah Islam hanya berisi ajaran yang terkait dengan kegiatan ritual, seperti dzikir, shalat, puasa, dan haji. Islam tidak ubahnya agama-agama lainnya, seperti Kristiani, Yahudi, Budha dan Kong Hucu. Islam hanya dilihat, sebagaimana agama-agama lainnya itu, dari aspek agama dan belum sebagai sumber peradaban yang luas.

Padahal sebenarnya, jika dilihat dari sumbernya yang autentik, yaitu al Qurán dan hadits nabi, Islam bukan sebatas ajaran yang memberikan tuntunan tentang kegiatan ritual. Islam disebut sebagai ajaran yang bersifat universal. Islam melalui al Qurán dan hadits memerintahkan ummatnya agar memikirkan ciptaan Allah, baik yang ada di langit maupun di bumi. Ummat Islam diperintahkan agar menggali ilmu pengetahuan dan akan ditingkatkan derajatnya beberapa lebih tinggi karena ilmunya itu. Mencari ilmu adalah wajib hukumnya bagi kaum muslimin dan muslimat, dan bahkan dianjurkan hingga sampai negeri Cina sekalipun.

Misi Besar Kehadiran Islam

Jika Islam dikaji dari sumbernya, yaitu al Qur’an dan hadits, maka sedikitnya ada lima misi besar ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Misi besar tersebut semestinya dipahami secara baik dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kelima misi tersebut adalah sebagai perikut : Pertama, Islam membawa ummatnya kaya ilmu pengetahuan; Kedua, Islam mengantarkan ummatnya menjadi manusia ungul; Ketiga Islam memberi tawaran tentang kehidupan yang setara dan berkeadilan; Keempat, Islam memberikan tuntunan tentang bagaimana menjalankan ritual untuk memperkukuh kehidupan spiritual; Dan Kelima, adalah menawarkan konsep amal shaleh.

Namun selama ini yang mendapat perhatian dari pendidikan Islam baru pada persoalan yang terkait dengan kegiatan ritual, fiqh dan syariáh dan sejenisnya. Sebagai akibatnya, tatkala berbicara tentang Islam, maka pada umumnya hanya sebatas menyangkut agama, dalam pengertian ajaran tentang ritual. Pemahaman seperti itu berpengaruh luas pada tema-tema perbincangan Islam dalam kehidupan sehari-hari, seperti sebatas persoalan jilbab, persoalan masjid, persoalan puasa, persoalan haji dan sejenisnya. Dalam hal-hal tertentu, umat Islam menjadi lebih bersifat emosional, dan kadang bahkan kehilangan rasionalitasnya.

Persoalan nyata sehari-hari, misalnya tentang lingkungan hidup, kebutuhan air bersih, pendidikan, kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi dan lain-lain tidak dianggap sebagai bagian dari Islam. Sebagai dampak dari pendidikan yang demikian itu, maka menjadikan umat Islam hanya peka terhadap persoalan ritual, ethic dan fiqh, akan tetapi sangat hirau terhadap persoalan ilmu pengetahuan, kemiskinan, kebodohan dan lain-lain.

Umpama saja misi besar Islam ditangkap secara utuh, hingga menjadikan umat Islam kaya ilmu pengetahuan, menjadi manusia berkharakter unggul, mampu menciptakan tatanan social yang setara dan berkeadilan, memiliki kekuatan spiritual yang kokoh dan selalu bekerja secara professional, maka umat Islam akan maju dan mampu bersaing dengan umat lainnya di alam global sekalipun.

Andaikan Islam dipahami sebagai ajaran yang memuliakan ilmu, maka tidak saja masjid yang dibangun, melainkan adalah pusat-pusat riset atau laboratorium dan perpustakaan-perpustakaan. Sebagai upaya membangun manusia unggul, maka umat Islam akan berupaya membangun lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tangguh. Selebihnya, untuk membangun tatanan sosial yang adil, maka pemuka Islam akan merumuska konsep dan doktrin-doktrin untuk mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Demikian pula, agar umatnya mampu bekerja secara professional, maka dibangun pusat-pusat pelatihan kerja yang diperlukan di tengah-tengah masyarakat.

Semua itu dilakukan atas dasar semangat untuk mewujudkan ajaran al Qurán dan hadits Nabi dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan dipahami sebagai Yang Maha Pencipta, menghendaki agar umatnya menjadi khalifah di muka bumi. Tuhan menghendaki agar ummat Islam tidak kalah atau tertinggal dari ummat lainnya. Islam hendaknya menjadi yang terbaik dalam semua bidang kehidupan. Menjadi Islam harus dimaknai sebagai menjadi maju, berada di depan dalam segala kebaikan di dunia ini. Islam tidak boleh sedikitpun kalah dari kelompok lainnya. Ummat Islam harus menjadi yang terbaik dan tauladan bagi lainnya.

Paradigma Baru Pengembangan Pendidikan Islam

Kelima misi besar Islam harus dijadikan sebagai dasar dalam menyusun pengembangan pendidikan Islam. Sehubungan dengan itu, maka harus ada keberanian untuk mengubah paradigma pendidikan Islam yang selama ini dikembangkan. Pendidikan Islam yang hanya mengantarkan peserta didik mengenal berbagai ritual Islam dan juga fiqh, harus diubah menjadi Islam yang mampu mengamtarkan umatnya maju, dinamis, inovatif dan terdepan dalam segala segi kehidupan yang terbaik. Manusia terbaik, yaitu orang paling banyak memberi manfaat bagi lainnya harus dipahami secara benar, luas, dan relevan dengan tuntutan zaman.

Pembagian ilmu secara dikotomik sebagaimana yang terjadi selama ini, -----yaitu ilmu agama dan Ilmu umum, harus segera diakhiri. Pembagian keilmuan seperti itu hanya akan menjadikan umat Islam tertinggal dari ummat lainnya. Oleh sementara kalangan, sebagai akibat pembagian ilmu seperti itu, menjadikan seolah-olah Islam tidak relevan dengan tuntutan zaman. Cara pandang Islam secara dikotomik, terbukti hanya akan mengantarkan para pemeluknya peka terhadap persoalan ritual, akan tetapi tidak peduli pada persoalan kehidupan nyata sehari-hari yang lebih luas.

Perubahan paradikmatik itu, menjadikan kajian Islam tidak lagi sebatas lingkup ilmu fiqh, tauhid, akhlak, tasawwuf, tarekh dan sejenisnya. Selain itu, bangunan keilmuan Islam juga tidak lagi hanya meliputi ilmu ushuluddin, syari’ah, tarbiyah, dakwah dan adab. Bangunan keilmuan Islam dengan paradigm baru akan memposisikan al Qur’an dan hadits nabi sebagai sumber ilmu utama selain sumber lainnya, yaitu hasil observasi, eksperimentasi dan penalaran logis. Jenis dan atau pembidangan ilmu dalam pendidikan Islam, -------dengan paradigm baru, akan memiliki kawasan lebih luas dari yang dikembangkan oleh ilmuwan pada umumnya selama ini, yaitu ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

Selanjutnya yang membedakan di antara keduanya, adalah terletak pada sumber ilmu yang digunakan. Pendidikan berparadigma Islam tatkala mencari kebenaran selalu bersumber pada ayat-ayat qawliyah dan sekaligus ayat-ayat kawniyah. Kedua sumber tersebut dianggap sama-sama penting. Sebab Tuhan melalui al Qurán juga memerintahkan manusia untuk memperhatikan alam, kehidupan manusia, filsafat, bahasa dan seni. Semua itu adalah merupakan ayat-ayat kawniyah yang harus dikaji secara mendalam. Berbeda dengan itu, adalah ilmuan pada umumnya. Para ilmuwan pada umumnya dalam menggali kebenaran hanya mengedepankan hasil observasi, eksperimentasi dan penalaran logis semata.

Sebuah Implementasi Pendidikan Berparadigma Islam

Sebelum dilakukan peninjauan kembali, Universitas Islam Negeri Malang membedakan antara ilmu umum dan ilmu agama. Selain itu, juga dibedakan pula antara mata kuliah ilmu umum dan mata kuliah ilmu agama. Melalui cara pandang itu dihasilkan sarjana agama selain juga sarjana ilmu umum. Mereka yang mengambil program studi umum, sejalan dengan misi dan identitas sebagai peguruan tinggi Islam, diberikan tambahan mata kuliah agama pada program studi umum. Sedangkan agama yang dimaksudkan itu adalah pengetahuan tentang tauhid, fiqh, akhlak dan tasawwuf, tarekh dan Bahasa Arab.

Selanjutnya setelah Islam dijadikan sebagai paradigma pendidikan, maka pandangan dikotomis terhadap ilmu pengetahuan ditinggalkan. Semua bidang ilmu dikembangkan dari dua sumbernya sekaligus, yaitu ayat-ayat qawliyah dan ayat-ayat kawniyah. Semua mahasiswa bidang apapun yang menjadi kajiannya, harus menyertakan al Qur’an dan hadits nabi dalam semua kegiatan risetnya. Melalui pendekatan seperti itu, maka akan diperoleh penjelasan yang lebih utuh dan komprehensif terdahadap pengetahuan yang diperoleh. Al Qur’an tidak lagi hanya dijadikan sebagai bacaan yang bersifat ritual, melainkan dijadikan sebagai hudan, furqan, tibyan dan lainnya

Sebagai gambaran dari implementasi itu, misalnya mahasiswa fisika dalam melakukan riset, selain mereka mengkaji lewat laboratorium, juga mencari jawaban yang memungkinkan tersedia dari ayat-ayat al Qur’an maupun hadits Nabi. Dengan demikian, setidak-tidaknya, kitab suci al Qur’an dan hadits Nabi selalu dijadikan sebagai landasan berpikir dan bahkan digunakan sebagai premis mayor dalam berpikir deduktif. Selain itu, para mahasiswa tidak hanya mengkaji al Qur’an dan hadits, melainkan juga mengembangkan ilmu pengetahuan secara luas lewat-ayat-ayat kawniyah. Para mahasiswa yang diberi identitas sebagai sarjana muslim akhirnya terlibat dalam mengembangkan sains dan teknologi sebagaimana para mahasiswa lain pada umumnya.

Sebagai wujud nyata dari hasil pendidikan yang berparadigma Islam, menjadikan mahasiswa memiliki sumber pengetahuan yang lebih utuh, yaitu al Qur’an dan hadits yang kemudian disempurnakan dengan hasil-hasil observasi, eksperimentasi dan penalaran logis. Dengan melalui paradigma seperti itu, maka akan dihasilkan sarjana muslim yang memiliki pengetahuan luas hingga mampu bersaing bersama-sama para ilmuwan lainnya di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Inilah salah satu cara dalam upaya menjadikan ummat Islam lebih maju, progresif, dan mampu menghadapi persaingan masa depan di tengah-tengah kehidupan yang semakin berkembang dan mengglobal. Wallahu a’lam.

*) Bahan Seminar di Aceh Pada Tanggal 27 Nopember 2010