KELAPA AKAN TETAP MEMBUAHKAN KELAPA TETAPI KEPALA BOLEH JADI MEMBUAHKAN KELAPA, masukkan komentar Anda mengenai blog ini. T e r i m a K a s i h atas partisipasinya Salam dunia maya isn't lhu'ena maya.

WUKUF: Setengah Hari Bersama Berdoa Di Arafah

Diposting dari Imam Suprayogo pada 16 November 2010 jam 8:50
Waktu wukuf dimulai tatkala matahari telah tergelincir ke barat hingga terbenam. Pada saat itu, semua orang yang sedang berhaji atau wukuf, kegiatannya tidak ada lain kecuali berdoa. Berdoa apa saja untuk mendekatkan diri pada Allah. Pada saat itu, tidak ada orang yang saling berbicara, berdiskusi, atau berembuk tentang sesuatu, melainkan semuanya diam, berkonsentrasi dalam berdoa.
Sekalipun di tempat itu jumlah orang hingga jutaan, tetapi tidak terdengar suara gaduh. Di padang Arafah yang luas, penuh dengan orang yang tidak bersuara, kecuali doa yang keluar dari mereka yang lagi wukuf. Doa itu juga tidak sampai bersuara. Masing-masing orang mengurus dirinya sendiri, berkomunikasi dengan Tuhan lewat doa itu. Jika terdapat suara selain itu, adalah khutbah Arafah yang juga tidak terlalu lama.
Kegiatan semacam itu, ------di dunia ini, hanya terjadi di satu tempat, yaitu satu-satunya di Arafah. Selain itu, wukuf hanya terjadi sehari setahun sekali, dan dalam waktu yang bersamaan pula. Dalam berwukuf tidak ada berselisih tentang jatuhnya hari yang seharusnya dilaksanakan, dan apalagi menyangkut tempatnya. Ketika pemerintah Saudi, berdasarkan keyakinannya mengumumkan tentang hari pelaksanaan wukuf, maka semua orang mengikuti keputusan itu.
Rupanya hal itu berbeda dengan di Indonesia. Di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini, semua orang merasa berhak menentukan, sekalipun dengan cara itu kemudian ummat Islam seolah-olah dalam menjalankan ritual, berbeda-beda. Memang perbedaan itu tidak mengapa terjadi, walaupun sebenarnya menggambarkan tidak adanya persatuan.
Sebagaimana tuntunan yang ada, ritual seharusnya berdampak positif terhadap kehidupan sosial. Namun ternyata, dalam ritualnya sendiri sudah terjadi perbedaan. Maka, baik ritual dan apalagi sosialnya tidak menggambarkan adanya persatuan itu. Ini terjadi karena pimpinan umat belum merasakan pentingnya persatuan itu. Bahkan sementara mengatakan bahwa, perbedaan itu adalah rakhmat. Mungkin statemen itu benar, jika perbedaan itu pada aktivitas ilmu pengetahuan. Akan tetapi perbedaan yang berada pada wilayah ritual, maka rakhmat itu sulit ditemukan. Sebaliknya yang terjadi adalah kebingungan ummat.
Perbedaan dalam menjalankan ritual sebenarnya tidak ada untungnya. Tuhan sendiri menghendaki agar ummat Islam selalu bersatu. Sekalipun demikian, perbedaan dalam ritual seperti itu sudah terjadi sejak zaman Nabi. Hanya saja bedanya, tatkala terjadi kasus perbedaan di zaman nabi, selalu terdapat hakim yang menghibur semua pihak. Hakim itu ialah Nabi sendiri. Beberapa kasus perbedaan itu sebagaimana contoh berikut.
Suatu ketika para sahabat berkumpul. Tatkala masuk waktu shalat ternyata tidak ada air untuk berwudhu. Akhirnya mereka bertayamum dan shalat bersama. Tidak lama selesai shalat ternyata jatuh hujan sehingga air melimpah. Maka sebagian shahabat wudhu dan shalat kembali, sedang lainnya merasa telah cukup dengan shalat yang hanya bertayamum. Perbedaan itu dikonsultasikan pada Nab, ternyata Nabi membenarkan semuanya. Akhirnya semua Shahabat lega.
Kasus lain, suatu ketika nabi bersama shahabat mendatangi ke suatu tempat. Pada saat itu, dengan alasan tertentu, Nabi memberikan petunjuk tentang tempat shalat, sebaiknya dilakukan. Atas petunjuk itu, beberapa shahabat khawatir kehilangan waktu shalat. Akhirnya di antara mereka shalat di perjalanan. Sedangkan sementara lainnya, bersikukuh mengikuti anjuran Nabi. Maka terjadi perbedaan. Namun setelah dikonsultasikan pada Nabi, mereka mendapatkan jawaban bahwa semuanya benar.
Masih dalam contoh serupa, kebetulan dalam pelaksanaan haji, sebagaimana yang sekarang ini dilaksanakan. Setelah mabith di Muzdalifah, beraneka ragam yang dilakukan oleh para jamaáh. Sementara ada yang melempar jumrah aqobah, sebagian lagi menyembelih dam, ada juga yang istirahat, dan bahkan juga ada yang pergi ke Makkah untuk ifadhah. Atas perbedaan itu, setelah dikonsultasikan kepada nabi, ternyata beliau membenarkan semuanya. Semuanya menjadi lega.
Perbedaan tersebut tidak jadi masalah, oleh karena ketika itu Nabi masih ada, sehingga ada hakim yang adil dan dipercaya oleh semua. Berbeda keadaannya dengan sekarang ini. Di antara semua selalu mengklaim bahwa dirinya sendiri yang paling betul sedangkan yang lain keliru. Hal itu terlihat dari tidak adanya kompromi atau solidaritas, sehingga semua mengabaikan persatuan. Persatuan dianggap kurang penting. Padahal, umpama semua berkompromi, maka akan menjadi lebih indah. Tokh, sebenarnya berbagai cara itu benar semua.
Di Arafah, tatkala orang sedang wukuf, perbedaan itu tidak terjadi. Di antara sekian banyak jama’ah haji, mereka berdoa sendiri-sendiri. Sebagian saja dipimpin oleh pembimbingnya. Tentu doa mereka juga berlain-lain, tergantung pada apa yang sedang dimaui masing-masing. Mereka juga tidak berebut bahwa doanya sendiri saja yang diterima sedang lainnya ditolak. Bahkan ketika itu, tidak seorang pun tahu, bahwa doa atau hajinya diterima. Sepeninggal dari Arafah, yang terjadi hanyalah suasana batin yang puas, haru, dan atau bahagia, telah melakukan salah satu rukun Islam yang kelima.
Suasana Arafah memang sangat mengharukan. Berjuta-juta manusia berkumpul di tempat yang sama. Mereka mengenakan pakaian yang sama, baik warna maupun potongannya, disebut baju ikhram. Kecuali para wanita, mereka mengenakan potongan pakaian yang agak berbeda-beda. Selain itu, yang mengharukan, bahwa di tempat itu, dari sekian banyak orang, tidak ada yang bermaksud mendapatkan kemenangan dari antar sesama, berusaha pamer tentang sesuatu, dan juga menunjukkan kepemilikannya melebihi dari yang lain. Nafsu yang disebutkan itu hilang dengan sendirinya ketika sedang di Arafah.
Orang yang sedang wukuf, semuanya merasa sama, tidak saja dalam hal pakaian, melainkan juga tentang apa yang dikehendaki, yaitu haji mabrur. Sehingga, pemandangan di Arafah benar-benar indah, damai, dan mengharukan. Orang di tempat itu tidak berpikir, kecuali tentang dirinya tatkala berhadapan dengan Allah swt. Mereka gembira, tetapi juga menangis ingat akan kesalahan dan atau dosanya. Mereka semuanya memohon ampunan dan ridha-Nya. Tatkala sedang wukuf, ------setengah hari itu, yang mereka lakukan hanya berdoa, memohon sesuatu hanya kepada Allah. Wallahu a’lam.