Diposting dari Imam Suprayogo pada 14 November 2010 jam 9:32
Ternyata umat Islam ini sekedar menentukan tanggal satu pada setiap bulannya sangat sulit. Pada setiap tahun selalu saja muncul istilah hisab dan rukyah untuk menentukan awal bulan. Hasilnya kadang sama, tetapi juga sering berbeda. Setiap ada perbedaan, maka yang bisa dikatakan adalah agar masing-masing pihak saling menghormati dan menghargai antar sesama. Berbeda tentang sesuatu dianggap wajar, dan memang demikianlah seharusnya.
Dalam salah satu kunjungan dengan beberapa pimpinan perguruan tinggi ke Saud Arabia beberapa tahun lalu, saya beserta rombongan diajak menyaksikan pusat kajian teknologi yang dibangun oleh negara itu. Di lokasi itu di antaranya tersedia alat-alat modern untuk memastikan letak bulan dan sekaligus menentukan awal penanggalan. Waktu itu, pimpinan laboratorium bersama stafnya, sangat bersemangat memamerkan alat canggih itu. Rupanya mereka mengira bahwa perbedaan hasil penentuan hari raya yang sering terjadi di Indonesia disebabkan oleh karena belum memiliki alat canggih dan modern, sebagaimana yang dimiliki oleh pemerintah Saudi itu.
Kunjungan ke Saudi Arabia atas undangan pemerintah di sana, ketika itu terdiri atas beberapa pimpinan perguruan tinggi, di antaranya UNAIR Surabaya, UI, ITB, UGM, UII, Universitas Andalas, Universitas Diponegoro dan saya sendiri dari UIN Malang. Rombongan ketika itu, selain diajak ke pusat pengembangan teknologi, juga berkunjung ke beberapa perguruan tinggi besar yang dimiliki oleh Saudi Arabia, baik yang ada di Riyad, Makkah, Madinah dan Jeddah. Tetapi, di antara berbagai tempat yang dikunjungi itu yang saya rasakan paling bersemangat memberi pelayanan adalah pimpinan pusat laboratorium teknologi itu. Saya menduga, semangat pimpinan pusat laboratorium itu dilatar belakangi oleh anggapan bahwa perbedaan penentuan hari raya atau awal bulan ramadhan akan bisa diselesaikan dengan teknologi modern itu.
Tatkala mengikuti penjelasan itu, hati kecil saya mengatakan bahwa perbedaan penetapan hari raya di Indonesia, bukan disebabkan oleh tidak adanya teknologi canggih. Indonesia sekedar peralatan untuk menentukan letak atau posisi bulan, juga sudah memilikinya. Selain itu, tenaga ahli juga sudah banyak jumlahnya. Kampus-kampus besar yang mengembangkan teknologi juga sudah memiliki alat canggih. Artinya, baik alat maupun orang yang menggunakannya sudah tersedia di Indonesia. Hanya persoalannya, di negeri yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, belum semuanya mau dan percaya terhadap alat dan para ahli itu.
Sejak lama saya beranggapan bahwa, perbedaan penentuan awal penanggalan hijriyah bukan terletak pada faktor teknologi, melainkan pada faktor sosial. Perbedaan penentuan awal bulan lebih terkait dengan persoalan orang-orangnya. Oleh karena itu untuk menyelesaikannya, ------kalau memang mau menyelesaikan, bukan menggunakan pendekatan teknologi, melainkan harus memilih cara yang terkait dengan persoalan sosial itu. Umpama para pemimpin ummat Islam di negeri ini, semua secara bersama-sama mau berjuang menyatukan ummat, maka hal itu bukan pekerjaan yang sulit dilakukan. Saya sangat yakin, bahwa hal itu mudah sekali dilaksanakan, asalkan dimaui bersama. Problemnya adalah bahwa selama ini, kemauan berjuang dari para pemimpin untuk menyatukan ummat ternyata belum ada.
Jika kemauan menyatukan ummat itu sudah ada, maka cara yang bisa dilakukan cukup banyak. Salah satu cara misalnya, adalah membagi kemenangan. Dalam bahasa modernnya adalah win win solution atau dibuat sama-sama menang. Sebab jika satu pihak dianggap kalah dan pihak lainnya disebut menang, tentu tidak akan ada yang mau. Maka perlu dirumuskan cara memenangkan kedua-duanya itu. Lagi-lagi hal itu juga tidak terlalu sulit, jika hal itu memang dikehendaki bersama. Caranya cukup sederhana, yaitu dilakukan dengan cara masing-masing mengambil kemenangan secara berbeda, tetapi sama-sama disebut menang.
Cara itu misalnya, ketika satu pihak sejak jauh hari telah mengumumkan jatuhnya awal bulan, -------sebagaimana yang selalu terjadi selama ini, maka yang lainnya dengan ikhlas mengikut saja. Pada saat seperti itu sengaja mengambil posisi mengalah dalam menentukan awal bulan. Tidak perlu, ketika itu, melakukan usaha mencari tahu kapan sebenarnya yang terjadi. Bersikap mempercayai saja kepada pihak yang menentukan terlebih dahulu. Dalam hal ini perlu dibangun saling mempercayai terhadap sesama muslim. Atas dasar kepercayaan itu, apapun hasil hisab atau rukyat, dijadikan pegangan bersama, sehingga jatuhnya awal dan akhir bulan Ramadhan, termasuk dua hari raya, bisa bersamaan.
Mengalah tidak berarti kalah. Memposikan diri dengan cara mengalah itu, maka sebenarnya justru telah meraih kemenangan. Dengan mengalah, maka telah berhasil menyatukan ummat Islam Indonesia. Setidak-tidaknya, adalah bersatu dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan maupun jatuhnya hari raya itu. Dengan cara itu, maka seluruh ummat Islam akan memulai dan mengakhiri puasa secara bersama-sama, dan shalat Id secara bersama-sama pula. Pihak yang mengalah inilah, sebenarnya justru berada pada pihak yang menang. Yaitu memenangkan dalam memperjuangkan ayat suci al QurĂ¡n, bahwa di antara kaum muslimin tidak selayaknya bercerai berai. Ayat itu ialah : waktashimuu bihabillahi jamii’a wala tafarraquu. Ayat ini jelas sekali maknanya dan sudah seringkali dibaca, namun sayangnya tidak banyak pimpinan ummat yang berjuang mengamalkannya.
Keberhasilan menyatukan ummat tidak kalah pentingnya dari sekedar memenangkan dalam penentuan awal penanggalan. Kedua-duanya sama-sama penting dan keduanya perlu diperjuangkan untuk diwujudkannya. Dengan cara seperti ini, maka sekali lagi, ummat menjadi tidak selalu dibingungkan dalam berhari raya, seperti Idul adha tahun ini. Walaupun sebenarnya kebingungan itu tidak terlalu dirasakan. Sebab berbeda seperti itu sudah sering terjadi. Sementara orang mengatakan bahwa perbedaan itu adalah hal biasa. Akan tetapi sebenarnya akan lebih indah jika terjadi kebersamaan. Selain itu, dengan kebersamaan yang berhasil dijaga, maka orang luar tidak akan mengatakan lagi, bahwa kaum muslimin sekedar menentukan awal dan akhir bulan saja selalu mengalami kebingungan.
Sekalipun sementara orang beranggapan bahwa perbedaan itu tidak akan melahirkan masalah, tetapi tidak demikian yang dirasakan oleh sementara orang, tidak terkecuali oleh Gubernur Jawa Timur. Gubernur merasakan itu, -----dari koran yang saya baca, karena perbedaan itu juga terkait dengan penentuan hari libur. Pemerintah pusat menentukan hari libur idul adha tanggal 17 Nopember, sementara rakyatnya ada yang berhari raya tanggal 16 Nopember 2010. Gubernur tentu, sebagai kepala pemerintahan, merasa berkewajiban mengikuti keputusan pemerintah pusat. Kebingungan seperti ini juga terjadi di kalangan masyarakat desa. Satu keluarga, antara suami, isteri dan anak bisa berbeda-beda dalam berhari raya. Sehingga, Islam seolah-olah tidak mampu menciptakan persatuan hingga tingkat keluarga sekalipun.
Jika logika untuk menyelesaikan persoalan tersebut disetujui, ------ win win solution, yaitu sekelompok memenangkan dalam menentukan jatuhnya awal bulan, sedangkan kelompok lainnya memenangkan dalam tugas menyatukan ummat, maka perbedaan itu akan terselesaikan. Tokh kedua kemenangan itu sebenarnya juga sama-sama penting. Dengan kebersamaan itu, maka ummat Islam akan tampak menjadi semakin indah, mereka selalu bersatu. Namun hati saya merasakan sedih, hingga mengakhiri tulisan ini, belum membayangkan, apakah pandangan saya terhadap pentingnya persatuan ummat bisa terwujud.
Persatuan di manapun tidak akan terjadi hanya karena faktor teknologi, atau metode melihat hilal,------sebagaimana yang akhir-akhir ini diusulkan. Persatuan itu akan terjadi jika hati dari masing-masing pihak, lebih-lebih para pimpinannya, dengan ikhlas mau bersatu. Jika para pimpinan sudah sama-sama saling memberi kasih sayang dan juga saling mencintai, maka akan terjadi persatuan dan bahkan ummat yang berada di bawah akan mengikut saja. Oleh karena itu, kunci persatuan itu sebenarnya sudah jelas letaknya. Akhirnya yang diperlukan pada saat ini, untuk menyatukan ummat, adalah kesatuan hati para pimpinan dan tokohnya itu sendiri. Wallahu a’lam.