KELAPA AKAN TETAP MEMBUAHKAN KELAPA TETAPI KEPALA BOLEH JADI MEMBUAHKAN KELAPA, masukkan komentar Anda mengenai blog ini. T e r i m a K a s i h atas partisipasinya Salam dunia maya isn't lhu'ena maya.

Kewibawaan Ka'bah

Diposting dari Imam Suprayogo pada 15 November 2010 jam 4:37
Tatkala memperhatikan ka’bah, yang saya tangkap adalah betapa bangunan yang didirikan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail itu, mampu menyatukan umat manusia yang berasal dari seluruh penjuru dunia. Orang yang berasal dari berbagai tempat yang berbeda, bersuku bangsa yang beraneka ragam, warna kulit dan kewarga-negaraan yang bermacam-macam, ternyata bisa bersatu di tempat itu untuk melakukan kegiatan yang sama.
Tidak pernah kelihatan di sana orang berebut dan merasa derajatnya lebih tinggi dari yang lain. Semua sama. Mereka juga tidak berdebat tentang aliran yang diyakini paling benar, sekalipun mereka berasal dari aliran atau madzhab yang berbeda-beda. Mereka yang mengaku diri sebagai beraliran sunni, syi’i, wahabi, dan tatkala di Indonesia yaitu NU, Muhammadiyah, Persis, Tarbiyah Islamiyah dan apa saja, semuanya bersatu. Tatkala memulai shalat, imam sudah takbiratul ikhram, maka semua segera mengikuti dari belakang.
Begitu pula, tatkala sedang thawaf, sai, wukuf, melempar jumrah, dan lain-lain, semua orang mengikuti cara-cara yang sama. Mereka berthawaf sebanyak tujuh kali dengan arah putaran yang sama. Tidak ada satupun yang sengaja melakukan hal berbeda. Umpama ada perbedaan itu, maka sebagian lain mengingatkan. Akan tetapi jika peringatan itu dihiraukan juga tidak dipaksa. Peringatan itu misalnya, soal kecil, seperti tatkala memilih tempat shalat, antara laki-laki dan perempuan terlalu berdekatan. Umpama peringatan itu tidak dihiraukan juga tidak mengapa, artinya tidak sampai bertengkar.
Semua jamaáh haji melakukan kegiatan yang sama. Pada tanggal 9 dzulhijjah semua jamaáh berada di Arafah untuk menunaikan wukuf. Waktu pelaksanaan wukuf juga tidak ada yang berbeda. Mereka tidak mempersoalkan apakah waktu wukuf itu dari hasil hisab atau rukyat. Begitu pemerintah Saudi mengumumkan hari pelaksanaan wukuf, maka seluruh jamaáh haji taat mengikutinya. Tidak ada seseorang atau sekelompok orang menentukan sendiri, misalnya mengambil waktu sebelum atau sesudah yang ditentukan oleh pemerintah Saudi.
Kesamaan itu juga terjadi di antara para jamaáh yang berasal dari Indonesia, tidak terkecuali para tokoh-tokohnya. Mereka yang berasal dari NU, Muhammadiyah, Persis, Jamaáh Islamiyah dan apa saja aliran atau organisasi yang dianut, semua melakukan wukuf pada hari yang sama. Tidak ada di antara mereka yang berbeda. Umpama para pemuka organisasi itu, datang ke tanah suci terlambat, karena harus mengikuti sidang isbath, ------sekalipun hasil sidang itu berbeda, maka masih akan melakukan wukuf di Arafah pada hari yang sama.
Kebetulan saya pernah mengalami hal itu tatkala bersama-sama haji dengan Pak Menteri Agama. Saya sudah lupa, pada hari apa idul adha waktu itu ditetapkan oleh pemrintah Indonesia. Akan tetapi saya masih ingat bahwa hari raya yang ditetapkan oleh pemerintah dengan yang ditetapkan di Saudi Arabia tidak sama. Saya tidak tahu, kenapa ketika itu hari raya di Indonesia, semua organisasi sosial keagamaan menetapkan hari yang sama. Akan tetapi semuanya berbeda dengan yang ditetapkan oleh pemerintah Saudi. Hal itu berbeda dengan sekarang ini, sebagian berhari raya sama waktunya dengan di Saudi dan sebagian berbeda.
Mengikuti kebiasaan itu, maka tentu sekarang ini, Pak Menteri Agama dan juga Ketua NU dan Muhammadiyah, ------jika mereka sedang berhaji, maka waktu wukuf akan mengikuti hari yang ditetapkan oleh pemerintah Saudi. Padahal sebenarnya apa yang ditetapkan oleh pemerintah Saudi berbeda dari yang ditetapkan sendiri di tanah air. Anehnya, sekalipun tatkala di Indonesia sangat sulit bersatu, akan tetapi jika sedang berada di tanah suci, para tokoh ummat itu dengan mudah dipersatukan. Mereka tidak akan bersikukuh untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing.
Maka itulah sebabnya, saya selalu merenung, sedemikian hebat wibawa ka’bah berhasil menyatukan umat yang berbeda-beda paham, madzhab, organisasi, suku, asal muasal, warna kulit dan sebagainya. Mereka patuh kepada keputusan pemerintah dan siapa saja yang memiliki otioritas mengatur jalannya ibadah baik, dalam ibadah sehari-hari seperti shalat berjamaáh maupun dalam menunaikan rangkaian ibadah haji.
Umpama sikap dan cara berpikir seperti tatkala sedang di hadapan Ka’bah itu juga digunakan ketika sudah pulang ke Indonesia, maka umat Islam akan bersatu padu, dan akan menjadi kekuatan yang luar biasa. Namun sayangnya, sepeninggal dari Arafah, dari Minna dan juga dari thawwaf wadak, ternyata setelah nyampai di tanah air, mereka kembali pada aslinya masing-masing. Seolah-olah, mereka tidak merasa bahwa baru saja telah mendapatkan pelajaran tentang persatuan dari Ka’bah.
Akhirnya, kiblat bagi umat Islam sedunia itu, terkait dengan pesan persatuan, hanya diikuti tatkala sedang berada di dekatnya. Sebaliknya, manakala sudah menjauh, maka pelajaran penting itu menjadi terasa samar-samar. Padahal tatkala shalat sehari-hari, mereka masih menghadap ke arahnya. Oleh karena itu, memang menyatukan ummat, tidak terkecuali di tengah-tengah para pimpinan dan tokohnya, ternyata amat sulit dilakukan. Perintah Tuhan melalui al Qurán dan juga Sunnah Nabi, agar ummat Islam selalu bersatu, ternyata masih belum mendapat perhatian yang memadai. Wallahu a’lam