KELAPA AKAN TETAP MEMBUAHKAN KELAPA TETAPI KEPALA BOLEH JADI MEMBUAHKAN KELAPA, masukkan komentar Anda mengenai blog ini. T e r i m a K a s i h atas partisipasinya Salam dunia maya isn't lhu'ena maya.

Menangis Di Arafah Dan Tertawa Di Mina

Diposting dari Imam Suprayogo pada 17 November 2010 jam 9:53
Rasanya jarang terjadi, ada orang tertawa-tawa ketika masih di Arafah. Begitu pula sebaliknya, jarang diketemukan orang menangis tatkala sudah melempar jumrah di Minna. Kalau pun ada, mungkin pengecualian saja, dan jumlahnya tidak banyak. Umumnya orang ketika masih di Arafah, dalam keadaan berpakaian ihram, banyak yang menangis. Apalagi pada puncak wukuf, yang bisanya dilakukan setelah waktu shalat dhuhur. Semakin sore, waktu wukuf semakin habis, biasa orang menagis semakin menjadi-jadi, sekalipun tidak sampai bersuara.
Mereka menangis karena waktu itu, tidak ada kegiatan lain, kecuali berdoa. Orang berdoa, biasanya berusaha berkonsentrasi, seolah-olah tidak ada yang lain kecuali Allah. Pada saat berdoa, biasanya orang mengingat kesalahan, dosa dan segala macam yang harus disesali. Suasana Arafah sangat mudah menjadikan orang terharu. Tatkala masih di tempat itu, orang tidak ingat lagi tentang keluarga, dagangan, ternaknya yang ditinggal, dan juga kebun, termasuk kegiatan atau usaha sehari-hari lainnya.
Ketika orang masih di Arafah, sedang wukuf, orang melupakan kehidupan keduniaannya. Beban kehidupan sehari-hari yang selalu digeluti, seolah-olah menjadi hilang. Ketika di tempat wukuf itu, yang diingat orang hanyalah Allah, Muhammad, dosa, dan tentang hari akhir. Suasana Arafah sangat membantu orang berkonsentrasi hanya pada Tuhan. Apalagi pada saat itu, sekalipun banyak orang, mereka berpakaian sama, ---- baju ikhram yang berwarna putih-putih, seolah-olah mereka telah siap dipanggil oleh Allah, menghadap kepada-Nya.
Suasana batin seperti itu dialami oleh semua orang yang sedang wukuf di Arafah. Orang yang gagah perkasa sekalipun, pintar, kaya, bahkan ulama atau kyai yang sehari-hari melakukan dzikir, justru mempelopori untuk menangis. Begitu pula orang-orang yang memiliki keberanian, termasuk berani menyimpang dari aturan apapun untuk menuruti hawa nafsunya, ternyata menjadi takluk, seolah-olah tidak memiliki keberanian apa-apa lagi ketika sedang wukuf. Padahal ketika masih di tanah air, apa saja diburu dan diperebutkan. Akan tetapi ternyata semua itu bisa dilupakan ketika sedang Arafah.
Berbeda dengan di Arafah yang ketika itu banyak orang menangis, maka tatkala sudah di Minna dan selesai melempar jumrah, banyak orang tersenyum dan bahkan tertawa menandakan kebahagiaannya. Umumnya seusai melempar kerikil-kerikil ke tempat pelemparan, mereka menunjukkan wajah berseri-seri. Jamaáh haji tidak menangis lagi, sebagimana tatkala masih di Arafah. Sekalipun ada doa-doa yang dibaca di tempat itu, tetapi tidak melahirkan suasana haru hingga harus menangis. Mereka justru tampak bahagia, karena sukses dan berprestasi telah berhasil melempar jumrah tepat sasaran. Suasana batin seseorang ketika itu seperti telah memberi atau memperjuangkan sesuatu dan berhasil.
Suasana di kedua tempat itu ------Arafah dan Minna, terjadi secara spontan, tidak dibuat-buat. Mereka menangis tidak disengaja menangis, demikian pula ketika di Minna, mereka gembira, berwajah berseri-seri terjadi secara alami. Sebagai orang yang sedang berdoa, posisinya berada di bawah, maka mudah terharu dan menangis. Sedangkan ketika melempar, posisi mereka seolah-olah di atas, berada pada pihak pemberi, sehingga menjadi tersenyum gembira.
Suasana yang terjadi secara spontanitas itu jika direnungkan, memiliki makna yang mendalam. Bahwa orang yang berada di posisi bawah, sedang meminta atau berdoá, maka jiwa mereka akan merasa rendah, lemah, kecil dan sederhana, sehingga mudah menangis. Oleh karena itu, manusia hanya dibolehkan merasa di bawah, meminta, dan atau memohon kepada Allah semata. Selain kepada-Nya, tidak dibolehkan. Sebaliknya, orang harus memberi dengan ikhlas, sekalipun hanya sebesar kerikil kecil, sebab dengan memberi sesuatu akan mendatangkan senyum kegembiraan, sebagaimana tatkala selesai melempar jumrah.
Antara Arafah dan Minna, hanya berbeda hari. Setelah dari Arafah jamaáh haji ke Muzdalifah, dan bermalam atau mabith di tempat itu. Setelah melewati tengah malam, mereka bergeser ke Minna, mabith lagi di tempat itu beberapa malam, dan melempar jumrah. Di dua tempat itu, secara spontanitas mereka menunjukkan suasana batin yang berbeda. Ketika di Arafah, mereka menangis, karena sedang memohon kepada Allah. Kemudian berubah menjadi tertawa ketika sudah sanggup melempar atau memberi sesuatu.
Tersenyum dan bahkan tertawa bahagia yang sebenarnya, ternyata tidak mudah terjadi. Kebahagiaan hakiki, hanya bisa diraih tatkala ia sanggup memberi sesuatu kepada orang lain, sekalipun dalam jumlah kecil dan sederhana, semisal sebesar kerikil. Sebaliknya , Tuhan melarang ummatnya menjadi peminta-minta, karena dengan itu, maka jiwa seseorang akan menjadi rendah, merasa kecil, dan batinnya menangis. Meminta dan menangis hanya dibolehkan kepada Allah swt., dan tidak oleh ditujukan kepada selain-Nya. Wallahu a’lam.